Surabaya - Laskar News, Surabaya mendapatkan namanya dari Moeljono dan Sariredjo. Perjuangan mereka melawan tentara sekutu menjadi alasan nama mereka diabadikan menjadi nama Kecamatan Mulyorejo.
Bagaimana aksi heroik dua pejuang tersebut melawan sekutu hingga gugur dan meninggalkan nama harum?
Peristiwa itu bermula saat masa Revolusi Nasional Indonesia pada akhir tahun 1945. Pada masa itu, Indonesia baru saja "menetas" menjadi sebuah negara merdeka. Namun tak berapa lama setelah kemerdekaan, tentara sekutu Inggris masuk ke Surabaya melalui jalur laut.
"Yang masuk adalah Tentara Sekutu Inggris Brigade 49 dan disusupi sama orang-orang NICA Belanda," kata pegiat sejarah dari Komunitas Begandring Surabaia, Achmad Zaky Yamani kepada awak media laskarnews, Kamis (7/3/2024).
Ketegangan antara pihak Indonesia dengan tentara sekutu tak terhindarkan. Masyarakat yang sedang berkobar semangatnya pun turut bergotong-royong berusaha melawan tentara sekutu
Tak terkecuali Moeljono dan Sariredjo. Mereka adalah dua pemuda yang tinggal di Dukuh Kalikepiting, Surabaya.
"Moeljono dan Sariredjo ini menurut cerita dari warga sekitar itu warga asli dari Kalikepiting. Di nisannya tertulis mereka adalah pejuang PRI," ungkap Zaky.
Tak berbeda dari kota-kota lain, kala itu situasi Kota Pahlawan juga memanas. Hingga pada 27 November 1945, Moeljono dan Sariredjo mendapat kabar bahwa tentara sekutu akan berpatroli ke dukuh mereka.
Dengan cepat, mereka menyiapkan barikade dan jebakan yang diletakkan di perbatasan dukuh mereka. Betul saja, saat hari menjelang sore, tentara Belanda tiba dengan persenjataan lengkap sekaligus membawa tank milik sekutunya, Inggris.
"Tanknya itu kata salah satu warga yang mengaku pernah melihat, nggak ada kubahnya. Jadi tank-tank ringan jenis bren carrier," ungkap Zaky.
Namun entah apa yang ada di pikiran Moeljono dan Sariredjo pada waktu itu. Alih-alih bersembunyi karena melihat brutalnya pasukan Belanda menembak orang-orang yang tampak di sekelilingnya, mereka dengan gagah berani maju dengan senjata seadanya untuk menghadang Belanda masuk ke Dukuh Kalikepiting.
"Moeljono dan Sariredjo meminta warga cari tempat berlindung dan mereka akan menghadang tentara sekutu. Kalau tidak dihadang menurut mereka pasti lebih cepat datang," ujar Zaky.
Dor! Dor! Dor! Dor! Tak butuh waktu lama bagi tentara Belanda membinasakan Moeljono dan Sariredjo. Mereka berdua syahid sebagai pahlawan revolusi dengan Mulyono yang tertembak pada bagian kepala, kaki, dan tangan, sementara Sarirejo tertembak pada bagian perutnya.
"Karena dengan persenjataan yang tidak lebih modern dari tentara Inggris dan jumlahnya yang hanya dua orang, Moeljono dan Sariredjo gugur," tutur Zaky.
Aksi heroik Moeljono dan Sariredjo begitu dikenang oleh warga setempat. Hingga pada tahun 1970-1980-an, masyarakat mengusulkan perubahan nama Dukuh Kalikepiting menjadi Desa/Kelurahan Mulyorejo.
"Saya secara detail nggak terlalu paham. Tapi sekitar tahun 70-80-an lah karena ada pemekaran," tutur Zaky.
Perubahan ini disepakati bersama sebagai wujud penghormatan warga terhadap kepahlawanan revolusi setempat. Dan Kelurahan Mulyorejo akhirnya menjadi Kecamatan sejak tahun 1992 dengan dikeluarkannya PP No. 26 Tahun 1992 Pasal 17 Ayat 1-3.
Selain itu, warga juga berinisiatif membangun patung Mulyono dan Sarirejo di perbatasan Kecamatan Mulyorejo dengan Kelurahan Mojo. Ornamen itu menggambarkan Mulyono sedang menaiki kuda serta patung Sarirejo yang berjalan kaki sembari menenteng bambu runcing.
Patung itu diresmikan oleh Kepala Desa Mulyorejo pada akhir 1950-an. Menurut Pemuda Pegiat Sejarah Mulyorejo, Ferdin Ardiansyah, patung tersebut sempat direnovasi dua kali hingga berbentuk seperti sekarang.
"Sudah direnovasi dua kali, yang terakhir karena ada kecelakaan yang menabrak relief lalu dibuatlah patung tiga dimensi seperti sekarang," kata Ferdin.
Setelah gugur, Mulyono dan Sarirejo dimakamkan di Makam Islam Dukuh Kaliwaron (sekarang Mulyorejo Tengah). Namun atas perintah Presiden Soekarno, makam mereka berdua dipindahkan ke Makam Pahlawan Ngagel pada tahun 1950-an.
Saat ini, warga Mulyorejo masih rutin melaksanakan Upacara HUT RI di depan Monumen Mulyono dan Sarirejo. Selain itu, mereka juga rutin berziarah ke makam setiap peringatan hari tertembaknya Mulyono dan Sarirejo.
"Tiap hari kemerdekaan ada upacara di depan patung Sarirejo, terus kalo tanggal 27 November kita berbondong-bondong ke makam untuk berziarah," pungkasnya. (red)